Rabu, 10 Februari 2010

REFLEKSI

SEDEKAH RAME

BERSATU DENGAN ALAM DENGAN KESADARAN KOLEKTIF

Oleh ; Eko Putra*

Suatu kesadaran yang tumbuh dan diyakini masyarakat secara kolektif dan terus-menerus hidup di dalam kultur masyarakat tersebut. Kemudian secara vertikal menjadi bagian yang tidak terpisahkan antara masyarakat terhadap kesadaran itu sendiri, hal demikian ini disebut sebagai tradisi. Tentu, konsepsi semacam itu sangat banyak berkembang di dalam masyarakat. Baik itu berbentuk lelaku, keyakinan, pandangan-pandangan, gagasan, dan pola-pola interaksi di dalam masyarakat.

Lalu, apakah bentuk kesadaran seperti itu masih ada di tengah serbuan modernisasi yang kurang dicermati secara arif oleh generasi terkini ? Di mana segala sesuatu diukur dengan statistik, pertimbagan material. Individualistis dan pragmatis. Pertanyaan ini, barangkali terlalu absurd dan terlalu gegabah untuk diungkapkan. Tetapi, bagi saya pribadi ini cukup menggelisahkan. Karena secara sadar, saya tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang boleh jadi masih memiliki tradisi-tradisi yang sampai hari ini masih tumbuh. Namun, perlahan tradisi-tradisi yang dimaksud mulai tersingkirkan. Dalam pada ini, kegalauan saya barangkali tidak dapat ditebus dengan apapun, kecuali menyikapinya dengan mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan realitas kekinian.

***

Di dalam tulisan ini, saya ingin bercerita tentang sebuah tradisi yang dapat saya katakan "masih ada" dan diyakini secara kolektif oleh masyarakat di daerah saya. Tetapi, sebelum terlalu jauh saya membicarakan banyak hal. Ingin saya tegaskan, bahwa saya hanya menggunakan standar pemikiran di mana segala koherensi kepustakaan dengan tangan besi saya abaikan.

Sebab, jujur saja saya bukanlah seorang akademisi yang bergerak di bidangnya jika ditelisik dari latar keilmuan. Pun, hingga saat ini, ijazah yang saya miliki hanya sebatas sekolah lanjutan atas, dan belum pernah tercatat sebagai mahasiswa di perguruan tinggi manapun. Yang mungkin saja, dapat diartikan keilmuan yang mestinya saya miliki untuk menjadi bahan tulisan ini sangat terbatas. Jadinya, apa-apa yang saya ungkapkan nantinya tidak lebih dari sebuah ocehan. Yang mana konteksnya berangkat dari pengalaman secara empirikal, dengan terlibat langsung di tengah "ruang masyarakat."

***

Begini. Di wilayah saya, tepatnya di Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin-Sumatera Selatan, di mana saya berada, dilahirkan, dan dibesarkan. Sampai hari ini, ada sebuah tradisi yang secara rutin dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Sedekah Rame, itulah namanya. Seyogyanya, masyarakat pendukung tradisi ini berlaku bagi seluruh Marga. Marga itu sendiri diartikan, sebagai bagian dari struktural pemerintahan yang diberlakukan sejak zaman Kesultanan Palembang yang mana pemimpinnya adalah seorang Pesirah. Marga kemudian membawahi Dusun-Dusun wilayahnya, yang mana Dusun dipimpin oleh seorang Keria atau Ginde. Namun sejak diberlakukan UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, sistem Marga didefinisikan menjadi Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Camat. Kemudian Dusun didefinisikan menjadi Desa yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Terlepas dari semua itu. Berlakunya tradisi ini, sudah sejak lama terpusat dan dipusatkan hanya pada satu Desa, yakni Desa Kertayu, yang kemudian hanya Desa inilah yang masih tetap melakukannya secara terus-menerus.

Menurut masyarakat yang pernah saya tanyakan. Mengapa tradisi ini, hanya dipusatkan dan terpusatkan di Desa Kertayu. Di karenakan leluhur yang dulunya menumbuhkan tradisi tersebut dimakamkan di desa Kertayu. Leluhur yang dimaksud, disebut oleh masyarakat sebagai Puyang Dulu Dusun. Puyang ini bagi masyarakat dianggap memiliki karomah. Sehingga salah satu, mitos yang kemudian sampai hari ini berlaku, kuburannya dianggap keramat dan bertuah. Atas dasar inilah, mengapa prosesi Sedekah Rame dilakukan di desa Kertayu. Yakni, agar rangkaian nyekar ke kuburannya, dapat dilakukan dengan jarak tempuh yang lebih dekat.

Lalu, apa dan bagaimana Sedekah Rame itu sendiri secara harfiah? Lelakunya seperti apa? Jika ditilik dari muasal kata pembentuknya, Sedekah Rame merupakan sebuah frasa yang terbentuk dari dua kata. Yakni Sedekah dan Rame. Kata Sedekah sendiri merupakan sebuah kata serapan yang berasal dari Bahasa Arab shodaqoh yang berarti memberi. Sedangkatan kata Rame sesungguhnya terbentuk dari kata Berame, yang kemudian dilenyapkan suku depan kata menjadi Rame, yang artinya bersama.

Nah, jika ditinjau secara etimologi maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Sedekah Rame merupakan sebuah prosesi saling memberi bersama. Dengan demikian, apakah sarana yang dijadikan untuk saling memberi. Berupa panganan. Berbentuk apa, bahannya seperti apa, bagaimana membuatnya, kapan itu dibuat dan dilaksanakan.

Panganan yang dimaksud adalah lemang, yakni sebuah panganan dengan bahan bakunya adalah beras ketan. Beras ketan yang digunakan ini dapat berupa beras ketan putih, beras ketan merah atau beras ketan hitam. Untuk ketan putih dan ketan merah bagi masyarakat wilayah Kecamatan Sungai Keruh menyebutnya padi pulut karena beras ini jika ditanak akan terasa melekat seperti pulut. Sedangkan ketan hitam, disebut oleh masyarakat sebagai padi arang karena beras dan nasinya berwarna kehitaman. Proses membuat lemang itu kemudian disebut melemang. Seperti apa proses melemang itu secara jelasnya?

Lemang, dimasak dengan menggunakan media bambu yang masih muda batangya. Tetapi tidak semua bambu dapat digunakan. Pertimbangannya, selain ukuran dan bentuk bambu. Agar tidak menyulitkan pengolahan. Biasanya bambu yang digunakan adalah bambu yang disebut

buluh dabuk, karena selain struktur lingkar kulit batangnya agak tipis, ukuran diameternya cukup besar, bambu ini memiliki ruas yang relatif panjang. Bambu muda yang dimaksud, kira-kira ruas paling tuanya sebanyak enam hingga delapan jarak dari rebung pangkalnya.

Lemang sendiri dapat dibuat dalam tiga aneka rasa. Rasa yang pertama yaitu manis, kemudian lemak, dan terakhir lemak manis. Penamaan ini disesuaikan dengan bahan pelengkapnya. Jika ia lemang manis

maka selain ketan, pencampur yang digunakan adalah pisang. Untuk lemang lemak bahan yang dicampur adalah santan yang diberi sedikit garam. Sedangkan lemang lemak manis adalah kombinasi antara lemang lemak dan lemang manis, hanya saja campuran garam tidak dipergunakan. Terkecuali lemang lemak yang biasanya akan dilapisi oleh daun pisang di dalam tabung bambu. Adonan yang telah dibuat, langsung dimasukkan ke dalam tabung bambu.

Setelah dimasukkan ke dalam tabung bambu. Langkah yang dilakukan adalah pengobongan api. Tabung-tabung lemang disusun sedemikian rupa. Lurus searah. Api dinyalakan sampai mengunggun. Jika diperkirakan telah matang. Maka boleh dihentikan prosesi pembakaran. Lemang diangkat, dan siap untuk disantap.

Itu adalah rangkaian pembuatan lemang. Lalu kapan Sedekah Rame itu dilakukan. Lazimnya, tradisi ini dilakukan setelah masyarakat telah selesai ngetam. Satu hingga dua bulan setelah panen padi. Panen padi yang dimaksud adalah panen padi yang dilakukan oleh masyarakat desa yang menggarap ladang berpindah yang disebut ume. Tetua desa/adat akan memberitahukan kapan waktu pelaksanaan Sedekah Rame. Maka dengan serentak seluruh masyarakat akan mempersiapkan hajatan tersebut, dengan panganan utama lemang tadi. Sampai hari H yang telah ditentukan. Tetua yang dimaksud akan memandu ritual. Yang mana ritual ini kemudian secara akuturasi disesuaikan dengan kaidah-kaidah religi yang berkembang di dalam masyarakat. Tentu saja, di hari H yang telah ditentukan itu, tidak hanya lemang yang dijadikan sarana dan simbol. Namun, ada sarana pelengkap yang digunakan, yaitu punjung dan langer.

Punjung merupakan jenis panganan yang juga terbuat dari beras biasa bukan pulut yang ditanak dengan santan dan garam. Boleh dikatakan semacam tumpeng bagi masyarakat tanah Jawa. Tetapi, agak sedikit berbeda dari segi bentuk, biasanya tumpeng Jawa berwujud nasi kerucut dan dibiarkan terbuka di atas talam dan hanya satu dengan ukuran yang besar. Yang mana laukpauk dan sayurnya juga dalam satu wadah. Tetapi punjung berbentuk limas dan selalu dibungkus oleh daun pisang yang akan membuat aroma nasi punjung begitu harum dan gurih.

Ukuran punjung biasa yang saya lihat kira-kira setara dengan besar buah kelapa. Atau bisa lebih kecil dari itu, dan berjumlah ganjil. Jumlah yang paling sering dibuat adalah sebanyak tujuh buah. Jumlah ganjil ini, merupakan filosofis dari manifestasi ketuhanan yang dianggap ganjil. Selain nasi, punjung juga akan disertai oleh lauknya. Lauk yang paling sering disediakan adalah ayam guling yang dimasak dengan cara dipanggang. Yang nantinya jumlah ayam disesuaikan dengan jumlah nasi yang dibuat.

Selanjutnya langer. Ini persis seperti mandi balimau yang dilakukan oleh masyarakat Minang. Harfiahnya, langer terbuat dari daun jeruk nipis atau jeruk purut yang diiris halus kemudian dimasukkan dalam rendaman air. Namun sebelum diiris halus dan direndam pada daun diikat lembar-lembarnya menjadi satu kesatuan, lalu dirapalkan bacaan-bacaan oleh ahli, semacam mantera kebaikan yang telah diselaraskan dengan ajaran-ajaran spiritual yang berkembang di masyarakat.

Daun jeruk ini sendiri, dapat dibawa ke rumah masing-masing penduduk. Yang apabila telah dibacakan rapalannya, dibuat sendiri oleh penduduk di rumah air mandiannya. Mandi langer dilakukan dengan tujuan agar terlepas dari balak dan selamat dipenuhi kebaikan.

Punjung dan langer fungsinya hanya terbatas pada hari H yang telah ditentukan. Karena kedua sarana ini merupakan medium yang digunakan dalam ritual. Media yang paling utama adalah lemang, sebab lemang secara menyeluruh dibebankan kepada masyarakat.

Nah, karena setiap penduduk membuat lemang. Apakah, lemang ini hanya akan dinikmati sendiri. Tidak. Inilah wujud paling nyata dari prosesi ini. Setiap penduduk akan saling bertandang, saling bertukar atau mencicipi lemang antara masing-masing penduduk.

Sesuai asal katanya, terjadilah saling memberi bersama. Misal Kuyung Odi ke rumah Wak Mamat, Wak Mamat akan memberi Kuyung Odi lemang. Wak Mamat bertandang ke rumah Bik Sulam, Bik Sulam membekali Wak Mamat lemang. Bik Sulam silaturahmi ke rumah Kuyung Odi, Kuyung Odi akan memenyapkan lemang kepada Bik Sulam. Begitulah. Prosesi dinamis. Saling berbagi. Saling rasa antara satu dan yang lainnya.

Tradisi saling berbagi lemang ini terjadi dalam rentang waktu berkisar sampai satu pekan hingga persediaan lemang yang dimiliki masing-masing telah habis. Tentu saja, saling berbagi ini tidak hanya terbatas pada warga desa Kertayu. Tetapi, seperti yang pernah saya singgung dalam tulisan ini, itu juga berlaku pada masyarakat desa-desa sekitar yang berada di dalam Kecamatan Sungai Keruh. Namun, masyarakat desa lain, biasanya hanya akan bertandang ke desa Kertayu akan mendapatkan bingkisan pula dari warga yang dikunjunginya.

***

Seiring berkembangnya zaman dari waktu ke waktu. Prosesi Sedekah Rame memang terus dilakukan di Desa Kertayu, tapi dalam beberapa tahun catatan saya. Walaupun kendali ritual barangkali masih dipegang oleh tetua, tapi proses penyerentakan akhirnya disesuaikan dengan Pemerintah terkait. Karena Bupati, Camat, dan para Kepala Desa, seringkali hadir dalam acara ini. Secara afirmasi ini dapat dikatakan sebagai wujud apresiatif pihak berwenang untuk menjaga tradisi yang hidup di tengah masyarakat. Sejatinya, hal ini memang perlu hubungan yang harmonis dan dukungan yang realistis dari Pemerintah untuk peduli dalam lingkungan masyarakat.

Dengan tuturan saya seperti ini. Bagi saya pribadi, Sedekah Rame sendiri sesungguhnya memiliki nilai-nilai filosofis. Rangkaian-rangkaian yang dilakukan. Mulai dari pemilihan waktu pelakasanaan yang dilakukan setelah panen. Merupakan wujud rasa syukur, atas hasil panen yang didapat. Pembuatan lemang yang hanya menggunakan beras ketan, lalu dimasak melalui bambu muda yang dipanggang. Dapat ditafsirkan bahwa segala hawa yang muncul setelah nikmat panen. Diharapkan agar terbakar, kemudian matang dengan dibungkus secara unik. Pun, juga punjung dan langer yang dijadikan sarana. Bahwa segala kesatuan akan membentuk sebuah keselarasan, sebuah gagasan yang menyatukan pemikiran secara kolektif.

Jikapun salah satu rangkaiannya, ada proses nyekar ke makam Puyang Dulu Dusun. Itu merupakan sebuah penghormatan bagi seseorang yang dianggap telah memberikan pengaruhnya di dalam masyarakat banyak. Inti ajaran yang ditumbuhkan oleh leluhur Kami tersebut. Agar seluruh Marga tehimpun dalam sebuah persatuan yang kokoh, selaras dengan konsep alam dengan kesadaran yang arif dan dinamis. Begitulah kira-kira.

Jika demikian. Apakah kita masih setia dengan pemikiran yang arif dalam tradisi. Di tengah konteks kekinian yang semakin gamang ini?

Semoga cahaya selalu menyalakan jiwa kita.

***


Minggu, 03 Januari 2010

Tulisan Muhammad Taufan di Facebook

Semangat Geist dan Motif Radif dalam Sajak
Penyair Muda Eko Putra.



Desember
05 Desember 2008 jam 14:14



desember, o desember
aku ingin melepas
sepasang janin matahari
dalam syahadat puisi
yang semakin
tak kumengerti
karena tubuhmu
adalah akhirku yang bermula
di januari


tapi bayang ini
adalah hujan kesumat
memberiku langit, hampir kiamat
yang kurasa khianat laknat
sampai kukembali lumat

desember, o desember
apakah sungai di dadamu
masih membentang sepanjang
hayat, aku memulai
segala hikmat, membawa
sebatang perahu
tempat nasib menggumpal beku
menjadi sepi dan nyali batu
hidupku yang semakin batu
di sayap biru, aku mencari
di belantara moyangku, dirimu
dari magrib ke gaib subuh

desember, o desember
ini tanganku mana rupamu





Saya mendapatkan puisi ini dari sebuah note di Facebook penyair Eko Putra. Menarik sekali karena puisi ini menyiratkan dirinya sebagai pemuda yang tua sebelum waktunya. Eko Putra yang muda belia, yang mestinya menikmati akhir tahun sebagai pestapora layaknya para remaja lainnya, sengaja disepikan, sekadar untuk merenung dan bertafakur.

Ketika saya membedahnya saya mendapatkan dua point penting dalam puisi eko putra ini, diantaranya:

1. Semangat Geist
2. motif radif (perulangan) dalam struktur puisinya.

1/
Penyair seperti pejalan. Meninggalkan tempatnya menuju sebuah daratan waktu. Waktu baginya adalah bandul mekanis yang dikuasainya, kapan tahu harus digoyang, kapan tahu harusnya diam.

Itulah yang menjadi konsep waktu menurut aristoteles kemudian, bahwa waktu adalah pertanda eksistensi manusia. Waktu memiliki awal dan akhir. Sementara Plato membentangkan waktu dari tiada menuju ada. Waktu mewujud bahkan sesuatu yang kita sebut sein (ada) berasal dari ketiadaan, sehingga tak menafikan keberadaan Tuhan yang absolut. Bahkan waktu ada sebelum sesuatu ada.

Waktu kreatif manusia kemudian bertarung dengan otoritas ketuhanan. Cogito ergo sum yang dipegang teguh para filsuf kontemporer sejak jaman renaissance bertarung hebat dengan pemegang kepercayaan atas kun faya kun-nya Tuhan.

Atomistik demokritus, menandakan bahwa Tuhan aktif dalam wacana tentang waktu. Memoderasi antara sikap fatalistik dengan naifisme.

Tuhan aktif diantara pergerakan atom. Dimana inti atom memproduksi satelit yang mengelilinginya (electron dan proton) sebagai kelangsungan hidup. Kepercayaan demokritus ini secara pasti direduksi oleh kaum assyariyah pada masyarakat muslim, tentang manifestasi nasib. Takdir adalah perhentian nasib yang sudah ditentukan berdasarkan intervensi Tuhan dan manusia.

Sajak Eko Putra adalah tanda perhentian nasib dari takdir yang sudah dipetakan,
“aku memulai segala hikmat, membawa sebatang perahu, tempat nasib menggumpal beku menjadi sepi dan nyali batu, (dari) hidup yang semakin batu.” Tetapi bagaimanapun baginya nasib adalah manifestasi ---ini disimbolkan dengan sebatang perahu--- yang didalamnya segala sesuatu dapat digerakan kepada hidup yang sudah terlanjur menjadi takdir.

Disini kita diingatkan dengan filsafat eksistensinya Karl Jasper, tentang cara berada manusia didalam takdirnya. Ada tiga konsep:

1. dasein
2. bewusstsein-Überhaupt
3. geist

Dasein adalah wujud psiko-fisik manusia terhadap alam semesta dimana ia berada. Dalam tahap ini manusia hidup hanya memenuhi kebutuhan tubuhnya saja. Manusia tak ubahnya masih berkubang dalam kesadaran hewaninya.

Point 2, bisa diartikan meminjam istilah ST Sunardi sebagai kesadaran umum, sebuah keadaan manusia merefleksikan alam semesta sebagai kesadaran mengumpulkan dan membangun ilmu pengetahuan.

Geist adalah roh yang bertugas memberi semangat pada praktik-praktik didalam dasein dan secara teoritis kepada bewusstsein-Überhaupt (kesadaran umum). Geist-nya Jasper terpengaruh dari ubermenschnya Nietzsche, begitu energik, hingga roh dapat dikatakan sebagai sumber kekuatan yang dikandung manusia itu sendiri.

Kemudian kita bisa meneruskan puisi Eko:
di sayap biru, aku mencari
dibelantara moyangku,
dirimu dari magrib ke gaib subuh.
Roh terbang dengan tanda “disayap biru” kebelakang, kembali menemukan perhentiannya “di belantara moyangku”. Sejarah ternyata memiliki perbatasan. Batasan-batasan yang tak dapat disentuh oleh ingatan. Dan akhirnya kita menangkap sebuah tradisi untuk memberi sekedar pelajaran pada alam modernitas sekarang. Bukankah modernitas adalah tradisi-tradisi yang berlari ke belakang?. Dan dengan roh (geist), intelek mencoba menjungkalkan tradisi ke modernitas. Tetapi secara bersamaan roh memanfaatkan tradisi sebagai nyawa dari modernitas itu, menampakkan jati dirinya menjadi manusia yang lahir dari kekuatan daerahnya, tempat lahirnya.

Oleh karenanya dalam warna syair-syair Eko Putra di beberapa tempat memunculkan semangat kedaerahan yang tentunya menyiratkan tradisi dari jati diri tempat kelahirannya, kita bisa melihat beberapa sajaknya yang bertema kedaerahan seperti, Bukit Selambas, Ulak Teberau, Di Danau Ulak Lia, Tubuh Kampung, dan Rumah Musi.

Itulah kemudian warna idealisme Eko dilanjutkan dengan berdirinya Komunitas Rumah Musi, sebuah komunitas para penyair muda sumatera selatan (tepatnya Sekayu, Sumatera selatan) yang peduli terhadap tradisi kampung halamannya.

2/
Geist adalah yang hakikat dari perenungan Eko, sebagaimana pengakuannya, ia telah mengalami ekstase, rasa mabuk dari rentetan kontemplasi kreatifnya. Bagaimana Eko mengamininya?.

Ya, tidak lain dengan menghadirkan geist itu dalam dimensi transenden. Sehingga terwujud sein dalam bentuk puisi, meskipun kita belum berani mengatakan sein puisinya eko sebagai ujung dari praktek asketisme seperti pernah dilakukan para penyair sufistik. Bukankah geist kaum sufistik itu didapatkan dari praktik zuhudnya para salik, sehingga nampak esoterik?.

Tapi bukan tidak nampak esoterik sajak ini. Unsur perulangan waktu berupa nama bulan diujung tahun nampak merupakan perpaduan yang menurut JC Burgel sebagai metode radif, perulangan dari ekspresi ekstase dan kontrol sekaligus.

Unsur perulangan ini, adalah sebuah metoda untuk menginkarnasi geist itu. Seperti proses tawaf dalam ibadah haji, atau rakaat didalam solat. Sebagai kesenian radif, bak horror vacuii (Dua atau lebih ornamen kembar) dalam ornament kaligrafi, bak stretto dalam nuansa musik. Desember o, desember… katanya seperti bunyi ayat suci Al Qur’an yang berulang kali dibunyikan, fabi ayyi ala irobbikumaa tukadzibaan*.

Itulah hidup seperti sajak seolah menemui siklus yang berulang, sejarah tentu toh berulang pula?.

Akhirnya kita berujung pada,

aku ingin melepas
sepasang janin matahari
dalam syahadat puisi
yang semakin tak kumengerti
karena tubuhmu
adalah akhir yang bermula
di Januari

Puisi kemudian bersaksi atas kehidupan dalam arti syahadatnya sebagai waktu, bukan sekadar monumental intelektual manusia semata. Tetapi semacam terbitnya terang dalam kerangka ganda. Bahwa kebenaran sejatinya masih bersifat relatif, mungkin karena sifat tingkatannya.

Tetapi kebenaran mesti dicari, layaknya Imanuel Kant, manusia menemukan penyerahan dirinya kepada Tuhan melalui momentum mandeg eksebisi akalnya.

Pencarian itu masuk kedalam siklus waktu. Manusia memiliki tubuh sebagai manifestasi yang perlu diberdayakan dalam amal ibadahnya sebagai pengemban khalifatullah di muka bumi. Sekaligus menafikannya, untuk keunggulan atas geist dari proses inkarnasinya.

Semua berulang, kita mengamini hidup seolah akan hidup seribu tahun lamanya, dan kita akan terus mengingat Tuhan, tatkala kita merasa hidup itu akan berlangsung dalam sedetik kedepan. Kita hidup, di bimbing waktu-waktu ritual untuk beribadah. Detik ini bertemu Tuhan dalam kebaktian theurgist di Gereja esok kita menjalani hidup sebagai manusia yang memiliki perut. Detik ini kita solat, dan kemudian kita memikirkan siapa manusia yang memerlukan bantuan kita…

Itulah geist dari proses inkarnasi yang didapatkan dari perulangan, mengandung kekuatan cara bereksistensinya manusia sebagaimana di utarakan Karl Jasper diatas tadi.

Metode radif dalam perspektif seni yang berketuhanan dapat kita temui pada beberapa tarian daerah di Indonesia, batik yang polanya berulang dan berpusat pada titik-titik, atau diwan-diwan radif Rummi yang sering di dendangkan dalam konser musiknya yang mengiringi tarian darwis.

Begitulah sejatinya puisi Eko ini, mengikuti pola radif, untuk mendapatkan geist-nya pada zaman yang terbentang di depan kepalanya. Namun meskipun begitu penyair muda ini tidak tenggelam dalam ekstase ketuhanannya. Semangat ketuhannanya kemudian ia sublimkan kedalam syair-syairnya yang bertemakan realitas sosial. Puisi Introwave misalnya, selain memendam semangat perubahan, Eko telah mencoba menampilkan sikap afirmasinya terhadap dunia urban. Tetapi masih saja dia bertahan dalam kerangka pandangan pemuda yang tradisionil. Lihatlah petikan sajak Introwave berikut ini:

dan ramalan bintang timur
dimulailah masa yang baru...
di masa ini, burung-burung kecil
hinggap di buku pelajaran
mereka bercerita
tentang kotak batu
yang dapat membaca dunia ketujuh
bersama alam ia larutkan

Dengan demikian kita merasa harus menyaksikan sikap ketimuran pemuda dengan kepeduliannya terhadap semesta alam. Kepedulian terhadap semesta alam adalah ketika pemuda beringsut terhadap siklus waktu yang dijalaninya yang meliputi siklus semesta pula.

Industrialisasi yang semakin hebat menerjang di timur (tentunya termasuk Indonesia), dan berkurangnya emisi karbon sebagai akibat dari deforestasi, menuntut pemuda macam Eko bisa menggiring pergaulan pemuda, khususnya para penyair untuk mendorong kepeduliannya terhadap lingkungan. Dan dengan itu kita dapat mendengar eco-puisi, puisi yang bercerita tentang lingkungan yang dapat mendorong kepedulian masyarakat terhadap alam semesta secara keseluruhan. Bukankah penyair juga, seperti halnya teknokrat mengeksploitasi keindahan alam itu?, O, ia toh, tanpa itu puisi akan kehilangan diksinya, layaknya teknokrat kehilangan bahan baku untuk pembuatan barang teknik misalnya.

Inilah geist dari puisi Eko diatas, Desember sebagai ujung tahun bukan sekedar sebuah momentum menjadikan puisi sebagai labirin ekstase kecintaan terhadap Tuhan semata, tapi sejatinya kecintaan itu harus disublimkan menjadi kesadaran terhadap kepedulian lingkungan dan kelangsungan hidup manusia.
***



Tabik!
M Taufan
18 Desember 2009

* Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?-Petikan QS Arrahman.

Minggu, 04 Oktober 2009

Perceraian

ini malam kesepuluh aku menunggu di sisi taman, tapi kau tak juga paham gemuruh penuh isyarat, aku kirimkan lewat pesan-pesan panjang berdentuman, ke arah huruf-huruf yang telanjang pucat

kau semestinya mendongeng cerita, kepada anak-anak sebelum mereka terlelap digerayangi mimpi, mungkin kau lupa bagaimana mengingat saat pertama, kita berciuman. kau memintaku melakukannya sekali lagi

ah terlalu sentimentil bukan? kurasa demikian, adegan itu dilakukan diam-diam di taman belakang, ketika matahari menyerak keperakan, kau terpaku gemetaran, aku dingin meriang

apa yang dapat dibagi oleh kenangan, jika perceraian mengajak berlupa, merias wajah dengan cermin tanpa bayangan, dan rumah yang dipenuhi prasangka

(2009)

Berilah Kata

berilah kata pada tali gitar yang enggan berdenting mengisi gelas dengan udara sepi.

mata dan jemari akan mengambang di situ. bibir kaca yang di penuhi not-not pendek. semacam puisi tergesa merayu. menyatakan kesunyian pada kelelakian yang dipanah beku bulan-bulan.

aroma kopi melayang ke atas. menafsirkan tiap petikan antara melodi dan nada bass. dari hamparannya yang lemas. mata telah merenangi lubuk nafas paling luas.

dari bulumata yang indah. notasi apa yang dapat dihantarkan menuju langit tak berbadan.

alangkah pelabuhan yang bergerak-gerak terapung di petikan pertama. ting ! sunyi bagai dermaga yang menambatkan kapal-kapal. terdampar di satu sisi yang berdenting di petikan lagu terakhir. meriwayatkan gelisah dalam pokok-pokok kenangan yang jatuh ke dinding bebal

(2009)

Beri Aku Kesepian

beri aku kesepian, walau sekejap, puisi akan hadir bagai mataair, mengalir dari telapak tangan dan membening ke dalam buku-buku tak berwarna

engkau akan melihat sesuatu, terbujur di ruang kosong, kabut jiwa yang susut setelah retak dibaca kenangan

matahari yang telentang, tak mengirimku menjadi orang asing, namun aku melupakan janji pada sebuah kota, yang tak tahu kapan bisa kembali menyusun kerangka mimpi

karena angin yang baru saja lewat, seakan terhenti.

aku telah berubah, membiaskan sepi pada sepasang mata, yang enggan menerjemahkan bahasa

lihatlah, bagaimana kerinduan mengering di telinga yang tak lagi mendengar lagu kesunyian. mati dan menjelma seekor burung lalu hinggap di sebatang pohon

beri aku pengertian, karena aku sendiri lagi. tanpa kekasih yang mempersiapkan pisau di kamar. mungkin aku berjalan dengan sebuah kereta. di tengah belantara, di temani pepohonan, angin, burung, dan mimpi yang tertunda

di manakah angin gaib yang menyalakan mataku, ataukah kenangan akan selalu karam

di sini. langkah yang kutuliskan pada api

(2009)

Gelagas

seekor kupu-kupu berayun tanpa angin, ada suara menafsirkan kemarau bagi seorang pertapa, dengan sebuah kitab yang ditulis seratus tahun setelah kematiannya.

bila seratus bunga enggan dimekarkan adakah yang dapat menggugurkannya, untuk mengubah arah cahaya memalamkan sepuluh siang

kepada matahari, kepada perasaan yang membuat musim mematahkan kalender. tanpa angin, kupu-kupu berayun menghadapi nasibnya. dan berputar di pucuk bunga-bunga...

(2009)

Sabtu, 26 September 2009

Malam Sepasang Mabuk

bulan separoh membikin bayang-bayang di sebuah garang, dua remaja mabuk kepayang menuntun malam lengang
dan mabuk terus berputar panjang

apakah cinta bagi sepasang perasaan yang ditiupkan ke dalam mata masing-masing. langit tak mengirim isyarat dalam angin kering yang membaca setiap ratapan

tangis rahwana atau kutuk si paitlidah-kah yang rebah di rumpun mawar belakang rumah ?

tak ada apa-apa, tak ada-apa, mereka tak mendengar apapun

(2009)

Jumat, 25 September 2009

Perempuan Embun

kaukah yang berdiri di ujung daun
menunggu pagi menurunkan embun
dan matahari cahya mengunggun di langit

bayang-bayang dan awan
nampak pias disapu
tarianmu yang berujud angin
berbelok di atas persimpangan
yang akan dipilih seorang lelaki
untuk upacara kelahirannya

Kamis, 24 September 2009

Tentang Sepotong Senyum


-Eka Putri, Pratiwi

sepotong senyum telah kusimpan sebagai gambar dan sebuah tanda yang membuat tarikan nafas mengalah dan mengambang di kartunama dan nomor telepon

kapan ke kotaku lagi : katamu. dan kau tahu pertemuan mengistirahkan kerinduan menjadi tidak lebih berarti untukmu mencari sesuatu yang kutinggalkan ke dalam buku-buku dan warna jilbabmu yang luruh di toko buku

suatu ketika kau menangis. kemudian tetesnya menjelma kupu bersayap ungu. berkejaranlah ia di antara alamat jalan yang ditumpangi pertanyaan. mungkin kau mencariku di sebuah terminal untuk menjawabnya. mungkin saja kau berlari menuju gedung pertemuan. kau membaca sepi yang dibaui luka. di sana seorang lelaki lebih baik dilupakan. dengan caramu sendiri.

sepotong senyum, dan berkunjung ke suatu kota, adalah ingatanku kepada alamat rumah dan warna jilbabmu yang digenggam oleh telapak tangan yang dingin

(2009)

Minggu, 13 September 2009

Masih Adakah Huruf

adakah huruf yang mampu menuntaskan kegelisahanku ini

jika malam pekat dan secangkir teh, menggiringku ke arena tanpa warna

menggenapkan masakanak dan remajaku hingga ranggas bersama waktu yang mengendap dan basah

aku tak perlu belajar kedewasaan dan kelelakian darimu, sebab candu malam begitu kental menjelajahi tulang-belulang

dingin yang enggan kembali ke muasalnya, melambatkan malam kepada pagi

membuatku mengerti rahasia pertama yang tak pernah disebutkan ayah, darimana aku yang tersesat dilepas dunia, tak mau berbagi kembali

(2009)